Tentang Korban: Rehabilitasi
Di antara contoh tata cara kerjanya, keterlibatan intel dalam program rehabilitasi pada dasarnya bertujuan membangun kedekatan dengan pihak tertentu dan untuk memudahkan pengungkapan informasi.
Jadi jelaslah bahwa dalam tahap ini ada tiga peran intelijen yang dikaitkan dengan penyelenggaraan fungsi lain dengan tujuan mendukung fungsi operasional intelijen yang utama, yaitu menghimpun informasi. Ketiga peran tersebut adalah 1) menyelenggarakan pembinaan fungsi pelayanan administrasi, persandian, dan pengelolaan teknologi; 2) keterlibatannya dalam mengumpulkan dokumentasi dalam membantu analisis bagi perkembangan lingkungan strategis, serta mendukung produk intelijen untuk kepentingan pemimpin; 3) menyelenggarakan kegiatan intelijen terhadap masalah-masalah yang memiliki dampak politis dan strategis melalui satuan tugas khusus (satgasus) masalah-masalah yang memiliki dampak politis dan dalam rangka operasi intelijen yang ditugaskan oleh pimpinannya.
Keterlibatan intelijen dalam tiap tahap peristiwa memang niscaya karena perannya ada di semua tahap. Adapun kekhawatiran persinggungannya dengan fungsi lain adalah wajar, namun dalam praktiknya tidak perlu dikhawatirkan karena tiap fungsi punya "rel”, nya sendiri. Misalnya, peranan ada di AG dan GN yang menggunakan pendekatan preventif dan represif, namun fungsinya lebih pada situasi AG dan GN di lapangan lalu lintas, seperti hadir di tengah kemacetan (preventif) dan menindak di lapangan ketika terjadi pelanggaran (represif). Samapta hanya berfungsi pada AG dan bersifat preventif, seperti Sabara (Satuan Barisan Anti Huru-Hara). "Samapta menangani atau mengiringi, sedangkan Sabhara untuk penjagaan. Artinya, hadir secara fisik.”
Sementara fungsi Binmas mungkin sama
dengan intel yang berperan mengawali, mengiringi, dan mengakhiri. Akan tetapi,
lingkup Binmas tentu seputar ceramah dan penyuluhan baik ketika situasi masih
PG, AG, maupun bimbingan bagi para narapidana ketika para pelaku diamankan di
lembaga pemasyarakaran.
Ada Brimob yang bukan merupakan salah
saru fungsi dari lima fungsi kepolisian sehingga sifatnya bantuan teknis dan
dapat digunakan oleh intel jika dibutuhkan. Sementara itu ada Detasemen Khusus
(Densus), seperti Densus 88, yang merupakan Densus dengan satuan fungsi
lengkap. Akan tetapi, Densus 88 memiliki kendala paradigma dan berpengaruh pada
pola komunikasinya karena di bawah Bareskrim, bukan independen.
Jika melihat kelima fungsi kepolisian
tersebut dalam kaitannya dengan hakikat gangguan, tampaknya dapat dipahami
kenapa kemudian kelemahan kepolisian dalam melakukan aksi cegah-tangkal tidak
tepat jika menyalahkan intel. Hal ini karena seharusnya penguatan peran fungi
intel menjadi tanggung jawab kolekrif dari kepolisian. Lemahnya fungsi intel
harus dilihat sebagai kendala komunikasi di tubuh Polri.
Ruang tanggung jawab fungsional intel
yang begitu luas menuntut komunikasi yang sangat baik antara intel dan fungsi
lainnya. Meskipun tugas universal penegakan hukum di era demokrasi ini menjadi
penting, bukan berarti harus mempertaruhkan keamanan masyarakat dan Citra
Polri.
Fungsi lain Baintelkam, yaitu : pertama, penyelenggaraan kegiatan
Operasional intelijen keamanan guna terselenggaranya deteksi dini (early detection) dan peringatan dini (early warning). Kedua, penyelenggaraan dan pembinaan fungsi pelayanan administrasi,
persandian, dan intelijen teknologi termasuk pelaksanaannya dalam mendukung
fungsi-fungsi operasional intelijen lainnya. Ketiga, penyelenggaraan dokumentasi, penganalisisan terhadap
perkembangan lingkungan strategis, dan penyusunan produk intelijen baik untuk
kepentingan pimpihan maupun untuk mendukung kegiatan operasional intelijen. Keempat, penyelenggaraan kegiatan
intelijen terhadap masalah-masalah yang memiliki dampak politis dan strategis
melalui satuan tugas khusus.
Dalam upaya menjalankan fungsi
tersebut dapat dilihat bahwa meskipun berada dalam sebuah institusi penegakan
hukum, Bainteikam tetaplah tidak bekerja untuk
praktis penegakan hukum itu sendiri. Peran utama intelijen tetaplah mengawali,
mengiringi, dan mengakhiri setiap peristiwa dalam rangka memberi masukan
informasi dan analisis bagi para pengambil kebijakan. Fungsi intelijen
bukanlah alat bagi proses penegakan hukum. Pandangan tersebut merupakan
pandangan yang keliru. Polri perlu melakukan pergeseran paradigma dari combat intelligence (intelijen tempur)
ke civil/smart intelligence
(intelijen sipil/cerdas), di mana pendekatannya persuasive, tidak lagi
represif. Sebenarnya paradigma Polri memang sudah bergeser ke arah yang tepat (on the track).
Sangat mungkin perhatian yang begitu
besar pada fungsi reserse ini dipengaruhi oleh persepsi negara hukum terhadap
demokrasi. Persepsi yang terbentuk bahwa potensi gangguan belum boleh disikapi
terlalu jauh sehingga Polri terkesan lebih memilih untuk menindak daripada
mencegah. Adapun posisi Polri yang terpisah dari militer menjadikan dirinya
harus bertindak berdasarkan koridor sistem peradilan pidana (criminal justice system). Sistem
peradilan pidana sebagai bingkai dianut bersama oleh empat komponen, yaitu
kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan penjara.
Peran Intelkam
antara lain fungsi deteksi terhadap gejala kriminalitas dan ketidaktertiban
terhadap hukum. Bukan fungsi aksi atau penindakan yang menjadi domain reserse. Meskipun dalam beberapa kasus yang memiliki
keterkaitan emosional atau ada intervensi perintah Kapolri langsung, terkadang
menciptakan kondisi domain bergerak yang bercampur.
Penulis menemukan gambaran tentang
paradigma dan fungsi khas intelijen dalam mengawali, mengiringi, dan mengakhiri
peristiwa. Selain itu, tergambar juga bahwa
sebenarnya ciri khas utama dari intelijen adalah kontra-intelijen dan operasi
tertutup. Itulah kenapa peran intelijen dalam memulai deteksi jauh sebelum
kejadian, di saat gangguan masih berupa potensi. Sebaliknya reserse, yang lebih
populer di khalayak, baru berfungsi sesudah peristiwa berada pada level
"gangguan nyata”.
Meskipun demikian, penulis melihat
adanya interpretasi yang berlebih terhadap pemisahan ini. Misalnya, praktik egosektoral yang menghambat terjadinya
pertukaran data dan informasi antar fungsi. Hal inilah yang penulis temukan
sebagai salah satu faktor yang mengurangi kualitas pengambilan keputusan yang
berbasis pertimbangan menyeluruh.
Deteksi dini merupakan peran
strategis intelijen sebagai "mata dan telinga” pimpinan. Istilah
"mata dan telinga” dipopulerkan dalam dunia intelijen untuk memberi
analogi biologis tentang dampak yang menyeluruh bagi setiap gerak-gerik organ
tubuh lain, terutama bagi otak dalam mengambil keputusan.
Sebenarnya wajar jika peran Intelkam
disebut memiliki dampak yang bersifat sistemik. Jika dilihat dari sejarah masa
lalu, intelijen berfungsi sangat strategis, antara lain sebagai penopang dasar
kebijakan dan program pemerintah. Lebih dari itu, intelijen bahkan memberi
rekomendasi bagi Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Pada
masa sekarang intelijen hanya berbeda dalam aspek cara dan gaya penguasa dalam
memanfaatkannya sebagai alat, sementara secara fungsi tetap strategis dan
memiliki dampak sistemik bagi kebijakan negara.
Komunikasi
intelijen memulai modal asumsinya dari analisis, bukan fakta. Itulah yang membedakannya dengan reserse yang bekerja
berdasarkan fakta. Justru dari penelitian ditemukan bahwa laporan analisis
menjadi sangat penting, karena tidak sekadar rekaman, namun juga dinamika yang
tidak tertangkap dan kecenderungan perkiraan negatif dalam rangka
mengantisipasi situasi ASTAGATRA, yang merupakan gabungan dari Aspek Trigatra
(Aspek alamiah: geografis, kekayaan alam, dan demografis) dengan Aspek
Pancagatra (ipoleksosbudkam).
Aspek multidimensi dalam ASTAGATRA
ini memudahkan penulis memahami mengapa untuk melakukan analisis tersebut,
sistem informasi digerakkan oleh struktur organisasi yang disesuaikan dengan
level permasalahan yang akan dianalisis. Sistem intelijen ini mengolah dari
gejala permukaan menjadi data dan informasi hingga menjadi produk analisis dan
pengetahuan dengan konstruksi rasionalitas yang kokoh.
Sistem Informasi Intel memiliki level
yang dikelola oleh struktur organisasi yang juga berlevel, "noise" data" information"
intelligence"
knowledge."
Karena kompleksnya peran intelijen
bagi banyak dimensi dan menggunakan pendekatan yang berbeda-beda, maka seorang
nara sumber meyakini bahwa kegiatan intel merupakan model peperangan kombinasi,
dapat bersifat pertempuran formal
atas nata pemerintah ataupun informal
menggunakan sarana selain pemerintah. Hal ini dapat dimaknai sebagai kombinasi
sistem komunikasi yang berlangsung dalam intelijen agar tujuan utama untuk
memperoleh data yang akurat dapat terpenuhi.
[1] Susaningtyas Nefo Handayani Kertopati, 2013, Komunikasi dalam Kinerja Intelijen Keamanan, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm 91.
Komentar
Posting Komentar