Intelkam dalam sejarah

 


Sejak awal kelahiran polisi, fungsi Intelpol (Intelijen Kepolisian) sudah ada, namun belum diorganisasikan secara baik seperti saat ini. Fungsi fundamental tersebut meliputi memperkirakan datangnya bahaya, memberi imbauan kepada penduduk, melapor kepada atasan, hingga menyarankan tindakan yang tepat.

Di Abad Pertengahan, fungsi intelijen di kepolisian mulai teratur, meski diimplementasikan untuk tujuan yang berbeda di tiap negara. Menjelang Revolusi Prancis, pekerjaan polisi rahasia diarahkan untuk memata-marai kelompok pejuang antimonarki. Sementara di Inggris, polisi rahasia diorganisasikan untuk melakukan pengamanan kenegaraan, keluarga kerajaan, dan pejabat tinggi negara. Apa yang diterapkan di Inggris ini dengan cepat ditiru di hampir semua negara di Eropa, seperti Prancis, Italia, Jerman, Swiss, dan negara Eropa lainnya.

Secara umum lembaga atau konsep intelijen di Indonesia tidak memiliki perbedaan fundamenral dari negara lain. Walaupun demikian, sejarah adalah faktor utama yang mendorong lahirnya karakter khas lembaga tersebut. Maka, perlu kiranya sekilas dipaparkan bagaimana perkembangannya dari zaman penjajahan Belanda dan Jepang, masa perang kemerdekaan dan masa berlakunya UUD 1950 di era demokrasi liberal, masa kembali ke UUD 1945 di era demokrasi terpimpin, hingga era Orde Baru.

Pada zaman penjajahan Belanda, polanya sangat dipengaruhi oleh maraknya pergerakan nasional (Boedi Oetomo 1908) sehingga struktur organisasi polisi masih menyatukan fungsi intelijen dengan reserse yang ditugaskan untuk tujuan politik penyelamatan kepentingan penjajah. Pada zaman penjajahan Jepang, usaha kepolisian difokuskan pada aksi militeristik guna memberantas gerakan dan unsur-unsur yang menentang pemerintahan penjajahan Jepang. Semua penduduk dipaksa untuk membentuk tonarigumi (rukun tetangga) sebagai institusi terkecil masyarakat yang dibebani tanggung jawab keamanan.

 

Pada masa perang kemerdekaan, lahir kekuatan intelijen yang dibentuk untuk mengatasi gejala gangguan keamanan yang berpotensi mengancam negara. Pada awal tahun 1946 satuan itu diberi nama "Pengawasan Aliran Masyarakat” (PAM). Pada Demokrasi Liberal, Pengawasan Aliran Masyarakat (PAM) diubah menjadi Dinas Pengawasan Keselamatan Negara (DPKN) setelah penyerahan kedaulatan Republik Indonesia pada 29 Desember 1949. Berdasarkan Surat Keputusan Pemerintah No. Pol. 4/2/28/UM, tertanggal 13 Maret 1941, DPKN ditugaskan untuk menjaga keselamatan pribadi Presiden dan Wakil Presiden, dan pejabat negara lainnya serta penjagaan terhadap tamu-tamu negara dan kepala perwakilan asing.

Pada masa demokrasi terpimpin, dibentuklah Korps Polisi Dinas Security (Korpolsek) sebagai respons atas terjadinya pembusukan politik dalam negeri maupun di luar negeri pasca-Dekrit Presiden Republik Indonesia 5 Juli 1959. DPKN kemudian memegang peran penting dalam memelihara keutuhan negara, nusa, dan bangsa Indonesia, antara lain menghadapi peristiwa-peristiwa MMC, APRA, Andi Aziz, RMS, Daud Beureuh, DI-TII, PERMESTA, Ibnu Hajar, Kahar Muzakkar, dan lain sebagainya.

Pada masa Orde Baru, dampak adanya gerakan bawah tanah sisa-sisa G30S/PKI di beberapa wilayah Indonesia dan terganggunya hubungan diplomatik dengan negara asing seperti Republik Rakyat China (RRC) berpengaruh pada arahan tugas intelijen. Pada 12 Maret 1967, Tap: MPRS No. XXXIII memberi tugas kepada Direktorat Intelijen berupa aktiviras penyelidikan, pengamanan, dan penggalangan, Sejarah ini menegaskan bahwa doktrin tiga fungsi utama intelijen: penyelidikan, pengamanan, dan penggalangan tidak berubah secara prinsip.



[1]. Susaningtyas Nefo Handayani Kertopati, 2013, Komunikasi dalam Kinerja Intelijen Keamanan, Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm 77.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Roda Perputaran Intelijen

Ambang Gangguan (AG) atau Police-Hazard (PH): Preventif[